sejarah kerajaan islam pontianak
SEJARAH NASIONAL
KERAJAAN ISLAM PONTIANAK
DISUSUN OLEH :
Ø Alfiansyah
Ø Emza
Naufaldi
Ø Shahnaz
Fachriyanthy
Ø Siti
Nurhaliza
Ø Surya
Pranata
KELAS : X-MIA
SMA MUHAMMADIYAH 5
Sejarah Peradaban Islam Pada
Kerajaan Pontianak
•
Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan
Belanda, VJ. Verth dalam bukunya ''Borneos Wester Afdeling'', yang isinya
sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini.
•
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah 1773
Masehi dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif
Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib
Husin), meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah
Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan Banjar Sunan Nata Alamdan dilantik
sebagai Pangeran Syarif Pangeran. Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan
cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya,
kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
•
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil
membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di
Pelabuhan Pasir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba
mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan
Sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan
yang makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
Sultan Syarif Abdurrahman
Alkadrie adalah pendiri dan sultan pertama Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan
pada tahun 1142 Hijriah / 1729 / 1730 , putra Al-Habieb Husin, seorang penyebar
ajaran Islam yang berasal dari Arab. Setelah tiga bulan
ayahnya wafat (1184 H) di Mempawah, maka
Syarif Abdurrahman mengajak kaum keluargannya bermusyawarah untuk meninggalkan
Mempawah. Mereka berangkat dengan menggunakan empat belas kapal/perahu yang
bernama “KAKAP”. Di malam gelap berhentilah mereka untuk menunggu hari siang.
Tempat peristirahatan mereka oleh penduduk menamainya yang masih terkenal
dengan sebutan “KELAPA TINGGI SEGEDONG”. Hampir-hampir mereka mendirikan pusat
kerajaannya di tempat ini. Karena tidak sesuai dengan maksud Abdurrahman,
berangkatlah mereka memutar haluan masuk sungai kapuas kecil. Sepanjang
perjalanan menyusuri sungai kapuas kecil ke daerah Batu Layang, tak
henti-hentinya gangguan makhluk-makhluk halus, alias hantu pontianak yang
menakutkan itu. Adalah salah satu gangguan yang menghambat perjalanan maju.
Syarif Abdurahman yang berani berpengalaman itu mengambil sikap tegas. Untuk
melanjutkan perjalanan harus berhenti menunggu hari siang.Besok paginya, Syarif
Abdurahman menembakkan peluru meriamnya. Ia berkata : “ dimana peluru ini
jatuh, disitulah kota kerajaan kita akan bangun. Selain dari membangun Ibu Kota,
ia pun bermaksud mau mengusir hantu-hantu Pontianak pengganggu itu. Peluru
telah berangkat mendahului mereka. Sekarang mereka mengikutinya. Peluru telah
diketemukan ditempat dimana Masjid “ JAMI’ SULTAN PONTIANAK ” sekarang ini.
Pertama-tama mereka mendidirikan Masjid untuk berbakti. Kemudian membangun
keraton.
Menurut pendapat Syarif Abdurahman bahwa tempat inilah yang
paling tepat, strategis perang dan perdagangan. Ditetapkannyalah tempat ini
menjadi Ibu Kota Kerajaannya.
Pontianak adalah sebagai kerajaan yang paling akhir
didirikan di Kalimantan Barat. Didirikan sezaman dengan pemerintahan Van Der
Parra ( 1761-1775). Gubernur jendral V.O.C yang ke 29. Pendirinya adalah putra
sulung dari Al-Habib Husin Al-Qadri yang bernama Pangeran Syarif Abdurahman.
Menurut panitia hari jadi Kota Pontianak, kota ini didirikan pada tanggal 23
Oktober 1771 ( 14 Rajab 1185 H ). Jelas bahwa kerajaan ini didirikan semasa
Islam telah berkembang di Kalimantan Barat.
Sebelum Kota Pontianak didirikan
pemuda Syarif Abdurahman telah terkenal sebagai seseorang yang berjiwa Maritim.
Persiapan yang cukup meyakinkan bahwa Kota Pontianak yang didirikan
dipersimpangan sungai landak dan sungai kapuas kecil, yang dewasa itu ditutupi
dengan hutan belukar. Diisukan sebagai daerah angker dengan penghuninya hantu
pontianak. Dipandang dari sudut ekonomis dan agraris strategis maritim adalah
sangat tepat. Buat pemikiran ini dapat disaksikan dengan berkembangnya kota ini
menjadi pemerintahan dan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat. Kota yang baru
berkembang ini merupakan pusat imigrasi suku-suku bangsa Indonesia dan luar
Indonesia. Dilapangan Religi dan budaya ia merupakan basis penyebar agama Islam
ke daerah Hinterland dan merupakan pula pusat kebudayaan hasil proses akulturasi
yang telah berasimilasi dengan unsur-unsur kebudayaan melayu, jawa, bugis dan
lain-lainnya yang kemudian berintegrasi dengan kebudayaan asli daerah ini. Kota
yang terakhir muncul ini mendapat kehormatan untuk menerima dan memegang
supermasi dan hegemoni dalam segala bidang atas kerajaan-kerajaan di Kalimantan
Barat. Mengenai issue hantu Pontianak penghuni tempat mendirikan
Masjid dan Keraton Pontianak ( Tanjung Beting ) menurut tutur kata dan cerita
tua-tua kampung, bahwa ini benar-benar ada. Diwaktu Sultan Abdurahman mau
membangun Masjid yang pertama ditempat itu terdiri sebatang kayu besar yang
ditebang sebelum mendirikan Masjid tersebut. Karena persiapan untuk membangun
Masjid, mula-mula rombongannya membuat pondok-pondok beratap daun lalang untuk
sementara dalam pondok-pondok tersebut, tak kunjung henti penghuni atau hantu
Pontianak ini mengganggu ketentraman mereka. Jelas selama mereka menghuninya
tak pernah merasa aman. Selalu ada saja gangguan setan Pontianak.
Terlahirlah suatu kota pada tanggal
24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kota
yang berdiri di daerah tropis. Asal mulanya kota tersebut datangnya rombongan
Syarif Abdurrahman Alkadrie yang membuka hutan di persimpangan tiga Sungai
Landak Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas. Hal ini
dilakukan oleh rombongan Syarif
Abdurrahman Alkadrie untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal.
terurai insiatif para rombongan untuk memberi nama tempat mereka tinggal dengan
nama PONTIANAK. Ya, terlahirlah nama kota tersebut yang masih dikenal hingga
kini. Pada tahun 1192 Hijriah, Syarif Abdurrahman Alkadrie
dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. yang letak pusat pemerintahan
ditandai dengan berdirinya Masjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana
Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak
Timur.
Sultan
yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:
Syarif Abdurrahman Alkadrie
memerintah dari tahun 1771-1808
Syarif Kasim Alkadrie memerintah
dari tahun 1808-1819.
Syarif Osman Alkadrie memerintah
dari tahun 1819-1855.
Syarif Hamid Alkadrie memerintah
dari tahun 1855-1872.
Syarif Yusuf Alkadrie memerintah
dari tahun 1872-1895.
Syarif Muhammad Alkadrie
memerintah dari tahun 1895-1944.
Syarif Thaha Alkadrie memerintah
dari tahun 1944-1945.
Syarif Hamid Alkadrie memerintah
dari tabun 1945-1950.
Syarif Abdurrahman, yang kemudian
menjadi pendiri Kesultanan Pontianak, adalah putra Al Habib Husin, seorang
penyebar ajaran Islam yang berasal Arab. Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada
tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan
saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat kediaman baru. Mereka
berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu dhohor mereka sampai
di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana.
Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.Namun Syarif
Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal
dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat
Syarif Abdurrahman dan rombongan sembahyang dhohor itu kini dikenal sebagai
Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas,
mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, dimana
sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan.
Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman
lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu.
Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada
persimpangan Sungai Kapuas dan Landak Setelah delapan hari menebas pohon di
daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan
kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri
Masjid Jami dan Keraton Pontianak.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan
Sya'ban 1192 Hijriah, dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak,
Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan
gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie. Tahun 1194 Hijriah (1773
Masehi), Belanda masuk ke daerah ini dari Betawi.
Kota ini terkenal sebagai Kota
Khatulistiwa karena dilalui garis lintang nol derajat bumi. Di utara kota ini,
tepatnya Siantan, terdapat monumen atau Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada
tempat yang tepat dilalui garis lintang nol derajat bumi. Selain itu Kota
Pontianak juga dilalui Sungai Kapuas yang adalah sungai terpanjang di
Indonesia. Sungai Kapuas membelah kota Pontianak , simbolnya diabadikan sebagai
lambang Kota Pontianak.
Masuknya Islam Di Pontianak
Di Kalimantan, Islam masuk melalui
Pontianak yang disiarkan oleh Bangsawan Arab Bernama Sultan Syarif Abdurrahman
pada abad ke-18. Di hulusungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan
Pemakaman Islam Kuno.
Masuknya Islam di Kalimantan ini
juga tidak luput dari perjuangan ayahnya Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie
yaitu Habib Husein Al-Qadrie.
Dalam perspektif yang berbeda
kedatangan Islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan Ekonomi dan Perdagangan.
Seperti didaerah-daerah lainnya di Nusantara. Islam disebarkan oleh
pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga tertarik pada
perdagangan atau semata-semata bertujuan menyebarkan Islam.
Di Mempawah Habib Husein Al-Qadrie
sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhizah 1184 H, beliau menikahkan putranya
yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dengan putrid Raja Mempawah Utin
Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar diangkat menjadi
pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja Pontianak dengan
gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein Al-Qadrie.
Umat Islam pada masa awal masuknya
Islam yang dibawa oleh Syarf Husein bin Ahmad Al-Qadrie, penganut Islam masih
sedikit. Tetapi, setelah berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun 1771
miladiyah, maka agama Islam menjadi agama yang mayoritas. Kesultanan Pontianak
dengan Rajanya yang bernama SultanSyarif
Abdurrahman Al-Qadrie, yang
menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat. Kehadiran
kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan agama islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak
dipinggir sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie sebagai
Sultannya menyebabkan Islam yang menjadi mayoritas dimana masyarakat di sekitar
kesultanan Pontianak seperti, di Kamping Bansir, di Kampung Kapur, Kampung
banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Di
daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar yang pada
jaman tersebut beliau adalah salahseorang yang termasyhu, Sultan Syarief
Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji di
lingkungan Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada
masa itu sudah menyebarluas kewilayah Pontianak. Ustadz
Dza’far yang kelak menurunkan anak
yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri cabang Muhammadiyah di
Sungai Bakau Kecil di Mempawah.
Daerah pertama di Kalimantan Barat
yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan
dan Mempawah. Islam masuk ke daerah-daerah ini diperkirakan antara tahun 1741,
1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa islam pertama bernama Syarief
Husein, seorang Arab. Versi yang lebih lengkap menyatakan, nama beliau adalah
Syarif Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif Husein. Diceritakan bahwa
Syarief Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid
Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan.
Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam,
putri Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15
Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan Dayak dan
Ayahnya Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama
terkenal di Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.
Melihat keterangan di atas tampak bahwa islam masuk di
Kalimantan Barat dibawa oleh juru dakwah dari Negeri Arab. Ini sejalan dengan
teori beberapa sejarawan Belanda diantaranya Crawford (1820), Keyzar (1859),
Neiman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Menurut mereka penyiar
Islam di Indonesia (Nusantara) berasal dari arab, tepatnya dari Hadramat,
Yaman. Teori ini didukung pula oleh sejarawan dan ulama Indonesia modern,
seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad Said dan Syed Muhammad Naquib a( atlas
(Malaysia).
Memang ada teori lain yang
menyatakan Islam di Nusantara berasal dari anak Benua India, yaitu dari Gujarat
dan Malabar yang bermazhab Syafi’i. Teori ini dekemukakan oleh Pijnapel,
seorang ahli sejarah melayu dari Universitas Leiden, Belanda, yang mengemukakan
teorinya tahun 1872, yang menurut Azyumardi Azra diperkirakan diadopsi dari
catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo dan Ibnu Baturiah. Teori lainnya,
menyatakan Islam di Nusantara disebarkan oleh pedagang dan juru dakwah dari
Benggala (Bangladesh) sekarang, yang titian dakwahnya melalui Cina (Kanton),
Pharang (Vietnam), Lerang dan trengganu, Malasia. Teori ini dianut oleh Tome
Pieres dan SQ Fatimi.
•
Teori-teori diatas mungkin saja ada benarnya, mengingat banyaknya wilayah
pantai Nusantara yang menjadi pusat perdagangan dan sekaligus penyiaran Islam.
Tetapi melihat nama syarif Husein Al-Kadri dan putranya Syarif Abdurrahman
al-Kadri yang pertama kali membawa dan menyiarkan Islam di Kalimantan Barat,
maka tidak diragukan lagi untuk wilayah Kalimantan barat saat itu pembawanya
adalah juru dakwah dari Arab.
•
Tidak dijelaskan secara pasti apakah Syarif Husein seorang pedagang atau
Ulama karena diatas disebutkan aktifitasnya sebagai Ulama mencapai 20-an tahun.
Tetapi diperkirakan, mulanya ia memang seorang pe
•
dagang, sebagaimana tipologi orang Arab pada umumnya, tetapi dimasa
tuanya lebih memfokuskan sebagai Ulama atau juru dakwah. Sedangkan aktivitas
dan bakat sebagai pedagang diwariskan kepada putranya, Syarif Abdurrahman
al-kadri.
•
Terbukti sewaktu mudanya Syarif Husein al-Kadri aktif berdagang
mengelilingi daerah-daerah di Sumatera seperti Tambilahan, Siantan, Siak, Riau
dan Palembang, juga dikawasana Kalimantan, seperti Banjar Kalimantan Selatan
dan Pasir di Kalimantan Timur. Bahkan ia juga berhubungan dagang dengan para
pedagang Indonesia lainnya dan pedagang mancanegara, seperti dari Arab, India,
Cina, Inggris, perancis dan belanda. Dari pengalaman dan kesuksesannya
berdagang, ia membangun armada dagang yang kuat yang dilengkapi persenjataan
serta kapal-kapal yang tangguh, yang dipimpin seorang sahabatnya bernama
Juragan Daud.
•
Jadi masuknya Islam di Kalimantan Barat berjalan secara alami: Habib
Husein al-Kadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya Syarif
Abdurrahman al-kadri bersama para kader dakwah lainnya. Disebut alami disini
karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas ekonomis juga digerakkan
sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Dengan
kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin berhasil, ditambah relasi yang
luas dengan para pedagang lainnya. Walaupun bagi Kalimantan barat, datangnya
Islam yang dibawa oleh Syarif Husein alKadri, Kalimantan barta bukan merupakan
daerah pertama yang didatanginva. Dan rentetan kronologi sampai akhirnya beliau
menetap dan memusatk~ul dakwah di Kalimantan Barat.
Beliau sendiri lahir tahun 1118 H
di Trim Hadramat Arabia. Tahun 1142 H setelah menamatkan pendidikan agama yang
memadai, atas saran gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur bersama tiga
orang kawannya untuk mendakwah islam. Tahun 1145 H mulanya mereka tiba di Aceh.
Sambil berdagang mereka mengajarkan Islam disana. Lalu perjalanan di lanjutkan
ke Betawi (Jakarta) sedanglan temannya Sayyid Abubakar Alaydrus menetap di
Aceh, Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar ke Siak dan Sayyid Muhammad bin
Ahmad al-Quraisy ke Trenggano. Syarif Husein al-kadri tingggal di betawi selama
7 bulan, kemudian di Semarang selama 2 tahun bersama Syekh Salam Hanbali. Tahun
1149 beliau berlayar dari Semarang ke Matan (ketapang) Kalimantan Barat dan
diterima di Kerajaan Matan. Seiring dengan usaha dakwahnya,
penganut Islam semakin bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke daerah
pedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama
Islam) dikerajaan Matan. Selepas togas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta
oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar
agama disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah,
sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun.
Bentuk-Bentuk Peradaban Di Pontianak
Keraton Kadiriyah
Masuknya Islam di Kota Pontianak
tidak bisa dilepaskan dari Keraton Kadiriyah. Bahkan, keraton ini ikut membidani
lahirnya kota yang dilewati garis ekuator ini. Keraton Kadiriyah didirikan oleh
Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri yang merupakan saudagar dan kerap melakukan
perjalanan perdagangan ke berbagai negara. Menurut sejarahnya, Keraton
Kadiriyah dibangun tahun 1771 M dengan luas sekitar 60 x 25 meter dengan
terbuat dari kayu belian pilihan. Kendati usianya
telah ratusan tahun lebih, tapi keberadaan keraton hingga kini masih menjadi
kebanggan masyarakat. Bahkan, tempat ini menjadi salah satu desteni sejarah
yang selalu ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Seperti
ketika hidayatullah.com mengunjunginya beberapa waktu lalu. Nuansa keraton
masih sangat terasa. Terlihat simbol keraton di beberapa sudut kota. Salah
satunya yang berada di pintu gerbang gapura dekat jalan raya besar, tempat
masuknya keraton. Terlihat ucapan tahniah selamat datang dan salam dari Keraton
Kadiriyah. Ucapan itu dilengkapi ukiran yang indah. Lebih
jauh, nuansa itu akan terasa ketika berada di lokasi ini. Ada sebuah pintu
gerbang kuno berwarna kuning. Pintu gerbang dibangun dengan tembok tebal dengan
atap di bagian atasnya. Terlihat tulisan Allah dan Muhammad di sisi kanan dan
kiri. Sedangkan di tengahnya sebuah simbol topi raja. Yang membuat kesan kuno
gerbang ini adalah dua meriam bekas yang terdapat di depannya. Meriam
itu tidak saja berada di depan pintu
gerbang keraton. Meriam berwarna kuning juga berada tepat di depan keraton.
Meriam kuno yang sebagiannya sudah karatan itu menghadap ke atas. Terlihat
moncongnya yang siap memuntahkan pelurunya. Konon, meriam itu buatan Portugis
dan Perancis. Setidaknya, di sekitar keraton ini ada kurang lebih tiga belas
meriam. Bentuk keraton ini terbilang unik.
Sangat kental nuansa klasiknya. Arsitekturalnya bernuansa lokal. Belum
tersentuh gaya asing. Bagian depan keraton ini berupa bangunan tingkat. Ada
tulisan Muhammad dengan huruf Arab serta gambar bintang dan bulan sabit.
Sedangkan di bagian atasnya terdapat tulisan dengan bahasa Arab melayu: “Istana
Kadriyah.”
Keraton Kadiriyah terbuat dari kayu belian yang kokoh. Karena itu, meski usianya sudah ratusan tahun, tapi masih kuat. Hanya terlihat beberapa bagiannya yang mulai rapuh dan catnya yang mulai pudar. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi keelokan keraton tua ini.
Hidayatullah.com pun disambut Syarifah, salah satu penghuni keraton ini ketika hendak masuk dan mengetahui lebih detil isinya. Katanya, ia masih memiliki hubungan darah atau cucu dari Shultan ke enam keraton tersebut. Dan, yang boleh tinggal di dalam keraton adalah yang memiliki garis keturunan dengan Shultan. Keraton sendiri kata Syarifah sangat berjasa terhadap perkembangan Islam di bumi Pontianak.
“Perjuangan para Shultan sungguh sangat luar biasa. Mereka tidak saja melawan penjajah tapi juga hantu yang paling menakutkan,” tuturnya. Dalam melawan penjajah itu, katanya, banyak keluarga keraton yang terbunuh. Syarifah masih sangat ingat, ketika masih kecil, ia melihat beberapa saudaranya yang meninggal dibunuh penjajah. Ia sendiri ketika itu lolos karena diselamatkan oleh salah seorang saudaranya. “Ketika itu banyak keluarga saya yang mati dibunuh, ditembak oleh penjajah Jepang. Benar-benar tragis,” katanya. Jadi, keraton Kadariyah merupakan suatu peradaban yang pertama yang melambangkan bahwa islam sudah berkembang di pontianak pada masa itu. Yang diperkenalkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yang pada saat itu sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah terlebih dahulu menetap di Kerajaan Mempawah.
Keraton Kadiriyah terbuat dari kayu belian yang kokoh. Karena itu, meski usianya sudah ratusan tahun, tapi masih kuat. Hanya terlihat beberapa bagiannya yang mulai rapuh dan catnya yang mulai pudar. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi keelokan keraton tua ini.
Hidayatullah.com pun disambut Syarifah, salah satu penghuni keraton ini ketika hendak masuk dan mengetahui lebih detil isinya. Katanya, ia masih memiliki hubungan darah atau cucu dari Shultan ke enam keraton tersebut. Dan, yang boleh tinggal di dalam keraton adalah yang memiliki garis keturunan dengan Shultan. Keraton sendiri kata Syarifah sangat berjasa terhadap perkembangan Islam di bumi Pontianak.
“Perjuangan para Shultan sungguh sangat luar biasa. Mereka tidak saja melawan penjajah tapi juga hantu yang paling menakutkan,” tuturnya. Dalam melawan penjajah itu, katanya, banyak keluarga keraton yang terbunuh. Syarifah masih sangat ingat, ketika masih kecil, ia melihat beberapa saudaranya yang meninggal dibunuh penjajah. Ia sendiri ketika itu lolos karena diselamatkan oleh salah seorang saudaranya. “Ketika itu banyak keluarga saya yang mati dibunuh, ditembak oleh penjajah Jepang. Benar-benar tragis,” katanya. Jadi, keraton Kadariyah merupakan suatu peradaban yang pertama yang melambangkan bahwa islam sudah berkembang di pontianak pada masa itu. Yang diperkenalkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yang pada saat itu sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah terlebih dahulu menetap di Kerajaan Mempawah.
Masjid Jami
Pendiri
masjid Jami’ sekaligus pendiri Kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman
Al-Qadrie. Ia seorang keturunan Arab, anak Al-Habib Husein, seorang pentebar
agama Islam dari Jawa. Al-Habieb Husein datang ke Kerajaan Maratam pada 1733
Masehi. Al-Habib Husein menikahdengan putri Raja Matan (kini Kabupaten
Ketapang) Sultan Kamaluddin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah
Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama
Islam. Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan
konstruturnya dari kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia
memiliki putra bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih
berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan sementara
dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Pembangunan masjid
kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman,
sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya. Beberapa ulama
terkenal pernah mengajarkan agama islam di masjid Jami’ Sultan Abdurrahman.
Mereka diantaranya Muhammad al-Qadrie. Habib Abdullah Zawawi, Syrkh Zawawi,
Syekh Madani, H.Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan. Masjid
jami’ pontianak dapat menampung sekitar 1500 jamaah shalat. Masjid akan penuh
terisi jamaah shalat, saat waktu shalat jum’at dan terawih ramadhan. Pada sisi
kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradonal. Di belakangya merupakan
pemukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis dan dibangun
depan masjid yang juga mengahadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.[16] Jika
melihat ke bagiandalam masjid, terdapat enam pilar dari kayu blian berdiameter
setengah meter. Dan peluksan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai
lingkaran pilar. Selain piloar bundar, juga ada enamn tiang penyangganya yang
mwnjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar. Pilar bujur sangkar itu berukuran kayu belian
untuk tiang rumah dewasa ini. Namun ukurannya di atas rata-rata. Jika sekarang
ada ukuran 6X6, 7X7, 8X8 dan 10X10 maka tiang tersebut lebih besar lagi. Masjid
itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip geladak kapal. Pada sisi
kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon. Hampir
90% konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian. Atapnya yang semula
dari rumbia, kini menggunakan sirap, potongan belian berukuran tipis. Atapnya
bertingkat empat. Pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran
kecil. Sementara di bagian paling atas, atapnya mirip kuncup bunga atau stupa.
Jendelanya yang berjejeran dengan pintu masuk, berukuran besar-besar, juga dari
kaca tembus pandang. Ada pula kaca yang berwarna merah dan kuning. Masjid
Jami’ ini sengaja dibuat untuk mengenang jasa-jasa Syarif Abdurrahman yang
telah menyebarkan ajaran Islam sehingga Islam sangat mudah untuk diterima dan
menjadi agama yang mayoritas, sehingga masjid tersebut diberi nama Masjid Jami’
Sultan Abdurrahman dan dengan mendirikan masjid maka dapat membuktikan bahwa
Islam pada masa awal penyebarannya sudah dapat diterima masyarakat setempat dan
menjadikannya sebagai pusat penyebaran Islam.
Makam Batu Layang
Makam
Batu Layang juga biasa disebut Taman Makam dari Kerajaan Pontianak, mulai dari
Raja Pertama (Sultan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie) hingga Raja Terakhir
(Sultan Hamid II) serta beberapa keluarga raja. Tempat ini biasanya ramai
dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak kuarang lebih dari 2 kilometer dari Tugu Khatulistiwa
yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun transportasi
air (sampan).Makam Batu Layang juga dapat dikatakan menjadi salah satu bentuk
Peradaban Islam di Pontianak mungkin dikarenakan tempat ini merupakan tempat
dimana pahlawan agama Islam dimakamkan dan mereka merupakan penyebar ajaran
Islam sehingga Islam sangat berkembang pada masa itu hingga sekarang manjadi
agama yang mayoritas sehingga tempat makam Batu Layang ini dijadikan tempat
atau sebagai bentuk peradaban islam di kota Pontianak. Makam ini pula yang
menjadi petanda kalau di Pontianak pernah ada orang-orang yang memang berjasa
dalam menyebarkan Islam di kota Pontianak, sehingga menjadi salah satu bentuk
peradaban Islam di Pontianak.
Bidang Pendidikan
Madrasah yang pertama didirikan di Pontianak yaitu Madrasah
Al-Raudatul Islamiyah didirikan pada tahun (1936). Madrasah ini terdiri dari
dua bagian :
•
Bagian Ibtidaiyah, lama pelajarannya 6
Tahun ( 6 Kelas ).
•
Bagian Tsanawiyah, lama pelajarannya 3
Tahun ( 3 Kelas ).
Pelajarannya ialah ilmu-ilmu agama dan ditambah pengetahuan
umum. Sebagai ketua pengurus Madrasah ini ialah H. Ustman, H. Abdurrahim dan
kepala madrasah A. Rani Mahmud dan wakilnya Abdul Hamid.
Perkembangan berikutnya lahirnya berbagai organisasi Islam
yang menjalankan pendidikan Islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di
Pontianak, antara lain
•
Yayasan Pendidikan Bawari ( Badan Waqaf
Al-Madrasah Raudatul Islamiyah )
•
Yayasan Pendidikan Islamiyah
•
Yayasan Pendidikan Bawamai ( Badan Waqaf
Al-Madrasah Al-Arabiyah Islamiyah )
•
Yayasan Pendidikan Muhammadiyah
Ulama yang sangat berperan penting dalam membentuk dan
mengembangkan pendidikan Islam di era era tahun enam puluhan dan sampai delapan
puluhan di Pontianak diantarannya adalah:
•
Haji Ismail bin Abdul Karim alias Ismail Mundu (Mufti
Kerajaan Kubu)
•
Syech Abdullah Zawawi (Mufti Kerajaan
Pontianak)
•
Syech Sarwani
•
Habib Muksin AlHinduan (Tharekat
Naqsabandiyah)
•
Syech H.Abdurrani Mahmud (Ahli Hisab)
•
Habib Saleh AlHaddat
•
Haji Abdus Syakur Badri alias Haji Muklis
•
Haji Ibrahim Basyir alias Wak Guru
Jadi, Bidang pendidikan dijadikan sebagai salah satu bentuk
peradaban Islam di Pontianak, dikarenakan dengan semakin berkembangnya agama
Islam di Pontianak maka juga diperlukan organisasi pendidikan untuk mengenal
atau menjadi wadah dalam mengajarkan pendidikan Islam pada generasi penerus.
Peradaban Islam
pada Kerajaan Pontianak
Dalam kerajaan Pontianak ini
banyak mengundang perhatian kita semua, itu terlihat dari
peninggalan-peninggalan bersejarah yang mempunyai nilai sangat tinggi bagi
daerah Pontianak. Ini menandakan bahwa Peradaban Islam pada waktu itu memang
sudah ada, salah satunya ialah Keraton Kadariyah yang dibangun pada tahun 1771
oleh Sultan Syarief Abdurrachman Alqadrie. Ini bukan sembarang keraton. Berbagai
jenis artefak, benda-benda bersejarah, dan perlengkapan furnitur tempo dulu
masih menjadi koleksi keraton yang terbuat dari kayu kokoh tersebut. Sebelum
memasuki keraton, coba amati gerbangnya. Konon, untuk melekatkan
tumpukan-tumpukan bata yang menyusun dinding gerbang tersebut, para pekerja
menggunakan campuran putih telur. Sayangnya, sampai sejauh ini belum ada
keterangan resmi mengenai kebenaran kisah tersebut. Namun yang jelas, terlepas
benar-tidaknya penggunaan putih telur tersebut, gerbang keraton itu hingga kini
masih tampak kuat, gagah perkasa. Kejanggalan lainnya
dari sekian banyak koleksi benda kuno milik Keraton Kadariah adalah sebuah
Meriam Timbul. Meriam berwarna kuning ini konon memiliki keistimewaan
tersendiri. Bayangkan, ia tidak tenggelam kendati berada di dalam air. Ketika
ditemukan di Sungai Kapuas misalnya, meriam tersebut dalam kondisi tidak
tenggelam, namun malah melayang-layang. Aneh bin ajaib, sebagian benda yang
seluruhnya terbuat dari besi tersebut muncul ke permukaan. Karena itulah
masyarakat lokal menamakannya sebagai Meriam Timbul. Peradaban
Islam lainnya yaitu berupa bangunan bersejarah yang berdiri kokoh sampai
sekarang dan mendapatkan julukan sebagai masjid tertua dan terbesar di
Pontianak yaitu Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Arsitekturnya tergolong unik,
gabungan antara Eropa, Timur Tengah, dan budaya lokal. Corak arsitektur bergaya
Eropa dapat dilihat dari bentuk pintu dan jendela yang berukuran besar.
Sedangkan gaya Timur Tengah diekspresikan pada bagian mimbar yang berbentuk
kubah. Sementara itu, corak lokal tecermin dari konstruksi bangunan
masjid yang terbuat dari kayu khas Pontianak, yakni kayu belian. Enam tonggak
masing-masing berdiameter 60 cm yang digunakan sebagai penyangga ruangan masjid
juga terbuat dari kayu belian berkualitas prima. Perpaduan ketiga corak
arsitektur inilah yang menjadikan Masjid Jami Pontianak menebarkan pesona bagi
umat Islam. Bersujud di masjid tersebut terasa menenteramkan hati dan
menenangkan pikiran.
Kesimpulan:
Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah kesultanan termuda
di nusantara, bahkan di dunia, karena kesultanan ini didirikan relatif paling
terakhir dibanding dengan kemunculan kesultanan-kesultanan lainnya (Syarif
Ibrahim Alqadrie, 1979:12). Pada tanggal 23 oktober 1771 masehi, kesultanan
yang lahir dari perpaduan kebudayaan arab, melayu, bugis dan dayak ini resmi
didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie.
Komentar